Sudah menjadi fitrah perempuan sebagai hamba Alloh berada di bawah penjagaan dan tanggung jawab laki-laki. Namun hal ini bukan berarti membuat perempuan dipandang sebelah mata, justru sebaliknya hal tersebut memberi indikasi betapa agama Islam sangat menjaga kehormatannya. Seperti tuntutan pada kaum lelaki untuk memperlakukan perempuan dengan sebaik mungkin dan tidak menyepelekan urusan perempuan meski berstatus di bawah tanggung jawabnya.
Seperti contoh dalam kasus perkawinan, seroang ayah atau kakek (bapak dari ayah) yang memilik hak ijbar (memaksa) anak gadisnya untuk dinikahkan, keduanya masih dianjurkan meminta izin dari anaknya terlebih dahulu demi menjaga perasaannya. Itu artinya, Islam sangat memperhatikan betul aspek-aspek yang berkenaan dengan emosional wanita.
Kemudian dalam urusan rumah tangga, hak pertama seorang istri yang wajib dipenuhi oleh suami setalah akad nikah adalah memberikan maharnya sebagai iwadh (ganti) kehalalannya. Mahar tersebut adalah hak milik istri sepenuhnya. Tidak ada anjuran bahkan kewajiban untuk memberikan mahar kepada anak yatim atau siapapun sebagaimana yang banyak berlaku di kalangan masyarakat. Akibatnya, tidak sedikit perempuan yang merasa bahwa mahar nikahnya adalah harta yang wajib dibagi-bagikan dan tidak boleh digunakan sendiri.
Tidak hanya itu, akibat kurangnya pemahaman tentang syariat Islam, banyak terjadi salah kaprah di kalangan masyarakat. Seperti kepercayaan bahwa bagaimanapun anak perempuan, masa depannya hanyalah untuk urusan rumah tangga. Hali inilah yang kemudian membuat perempuan kurang memperhatikan pendidikannya. Mereka merasa acuh untuk mendalami pendidikan agamanya termasuk masalah rumah tangga. Sehingga banyak perempuan yang beranggapan, bahwa kodratnya memang seperti itu.
Dalam hal rumah tangga, seorang istri punya hak untuk dilayani dengan baik, dicukupi nafkahnya serta dipenuhi kebutuhan sehari-harinya. Termasuk meyediakan pembantu, apabila istri tersebut memang berasal dari keluarga yang biasa dilayani oleh pembantu. Beda halnya dengan perempuan yang tidak biasa dilayani oleh pembantu.
Kewajiban suami menafkahi istrinya sebenarnya didasarkan pada dua hal: Pertama, istri memberi keleluasaan pada suami dalam urusan penyaluran hasrat biologis selama tidak menyimpang dari ketentuan syariat. Kedua, istri mentaati suami dalam hal tempat tinggal yang dikehendaki suami asalkan layak. Ketika dua hal tersebut dipenuhi oleh istri dan dia tidak melakukan Nusyuz (kedurhakaan) pada suaminya, maka suami wajib memberi nafkah meski tanpa melakukan pekerjaan apapun termasuk pekerjaan rumah pada umumnya seperti menyapu, memasak, mencuci dan lainnya yang dianggap kewajiban istri. Bahkan hal menyusui anak pun itu bukan tanggung jawab istri, karena istri hanya wajib memberikan air susu yang keluar pertama kali, selebihnya istri boleh meminta upah pada suami jika ingin tetap menyusui.
Adapun mengenai pekerjaan rumah tangga yang lazimnya dikerjakan oleh istri, para ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama Syafi’iyah, Hanabilah dan sebagian Malikiyah menganggap itu bukan kewajiban istri, sedangkan menurut Hanafiyah dan mayoritas Malikiyah hal tersebut merupakan kewajiban istri.
Masih banyak lagi pembahasan mengenai perempuan yang sangat disayangkan kalau tidak diketahui dan dilestarikan dalam kehidupan. Tentunya untuk menghilangkan persepsi salah kaprah tanpa dasar yang berakibat perempuan kurang dimuliakan dan kurang diperhitungkan. Semoga kajian singkat ini, menjadi suggesti untuk mendalami ajaran-ajaran Islam sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad Shollallohu Alaihi Wa Sallam. Wallohu A’lam Bis Showab.