Shadow

Nafsu Menggoda, Jiwa Bertakwa

Spread the love
Nafsu

Nafsu merupakan bagian dari makhluk Alloh SWT. Dengan berbekal nafsu, manusia bisa menjalankan kehidupan dengan semestinya. Namun demikian, nafsu memiliki Kecenderungan-kecendrungan untuk menyimpang. Karena itu, dalam Islam sangat dianjurkan untuk mengendalikan bahkan memeranginya.

Dalam kitab Durrotun Nasihin disebutkan bahwa  nafsu dapat dikendalikan dengan cara  berpuasa. Sebagaimana dalam salah satu hadis nabi, “Abdullah Ibnu Mas’ud RA. berkata: Rasulullah SAW bersabda pada kami: “Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu.” (Muttafaq ‘Alaih)

Namun kenyataan di lapangan berbanding terbalik. Kegiatan-kegiatan yang berdasarkan hawa nafsu belaka, yang biasanya lebih menjerumuskan kepada pemenuhan kesenangan manusia masih dan terus saja berjalan, bahkan merajalela, walau sudah bertahun-tahun melaksanakan puasa Ramadan setiap tahunnya. Belum lagi puasa Senin Kamis setiap minggu, puasa abyad setiap bulan bahkan puasa sunah lainnya seperti puasa Daud. Dari kenyataan ini, apa yang salah dari kita?.

Terlebih dahulu, perlu kita pahami apa yang telah dijelaskan oleh Syekh Ibnu Athaillah dalam kitabnya Syarh al-Hikam bahwa dalam diri manusia terdapat enam dorongan yang dapat memunculkan waridat (semangat hati untuk melakukan sesuatu). Yakni, pertama dari Alloh, kedua dari iblis, ketiga dari nafsu, keempat dari syahwat, kelima dari duniawi, dan keenam dari fisik/tubuh.

Nafsu merupakan musuh yang berasal dari dalam diri kita sendiri. Karenanya ia masih menjadi bagian dari diri kita. Sangat dibutuhkan upaya dari diri kita sendiri untuk mengurusi tingkah nafsu. Yakni dengan menahan keinginannya. Nafsu cenderung hanya mau satu jalan sesuai yang ia pilih. Namun demikian, ia tak kekurangan cara layaknya setan. Nafsu akan terus menggedor pintu-pintu yang dipilihnya hingga pintu itu terbuka.  

BACA JUGA :

SEHAT ADALAH USAHA YANG HARUS DILAKUKAN

Dengan begitu, jiwa manusia harus dibekali cara dan upaya untuk membentengi diri dari godaan nafsu itu. Salah satunya dengan melakuan ibadah puasa. Hakikat puasa adalah menahan (imsak). Menahan dalam arti yang lebih luas. Bukan hanya menahan dari kerasnya rasa lapar maupun dahaga akan tetapi penting juga menahan dari semua hal yang tidak baik dan dapat mencederai keabhasan puasa itu sendiri. Lahir dan batin manusia sejatinya harus juga berpuasa. Seperti contoh menahan dari memandang hal-hal yang dapat membangkitkan nafsu-nafsu amarah (jelek). Kemaksiatan yang muncul seringkali berawal dari pandangan. Sebab pandangan ini dapat menjadi pintu utama yang mudah dimasuki oleh nafsu.

Tak heran jika Imam al-Busiri sampai mengungkapkan hal ini dalam gubahan syairnya. “Nafsu ibarat seorang bayi, jika kau biarkan ia akan terus menyusu, namun jika kau sapih, ia juga akan berhenti.” Anak yang berhasil disapih akan berkembang dan tumbuh dewasa. Tak ubahnya jiwa kita, jika kita masih berkubang menuruti keinginan nafsu, maka sulit adanya perkembangan dalam diri.

Kendati demikian, usaha dalam mengendalikan nafsu ini tentunya bukan perkejaan yang mudah. Karakter nafsu yang tak tampak dan kerapkali membawa efek kenikmatan. Nafsu menjadi musuh paling berat dan berbahaya karena yang dihadapi adalah diri sendiri. Ia menyelinap ke dalam diri hamba yang lalai, lalu memunculkan perilaku-perilaku tercela, seperti ujub, pamer, iri, meremehkan orang lain, dusta, khianat, memakan penghasilan haram, dan seterusnya.

Rasulullah sendiri mengistilahkan ikhtiar pengendalian nafsu ini dengan jihâdun nafsi. Sepulang dari Perang Badar, Nabi SAW bersabda, “Kalian semua pulang dari sebuah pertempuran kecil dan akan menghadapi pertempuran yang lebih besar. Lalu ditanyakan kepada Rasulullah, apakah pertempuran akbar itu, wahai Rasulullah?. Rasul menjawab, ‘jihad (memerangi) hawa nafsu’.”

Selain dengan puasa, mengurangi tidur merupakan cara yang sangat dianjurkan dalam Islam untuk menundukkan hawa nafsu sebagaimana tertuang dalam al-Minahus Saniyyah. Ini bukan berarti kita begadang dengan ragam kegiatan yang mubazir. Tidur, sebagaimana juga makanan, bisa menjadi sumber yang menutup kejernihan kita dalam menerima cahaya Tuhan. Mengurangi tidur berarti bergiat bangun menunaikan salat malam, memperbanyak zikir, serta bermunajat kepada Alloh, dan kegiatan-kegiatan berat lainnya.

Rasulullah SAW bersabda, “Laksanakanlah qiyamul lail (salat malam) karena ia merupakan kebiasaan orang-orang saleh sebelum kalian, mendekatkan kepada Rabb kalian, menghapus dosa-dosa kalian, dan menjauhkan kalian dari berbuat dosa.” (HR at-Tirmidzi).

Baca Juga

Khutbah Jumat: Posisi-posisi Puncak

Bisa dikatakan, nafsu ibarat hewan beringas dan nakal. Untuk menjinakkannya, menjadikan hewan itu lapar dan payah merupakan pilihan strategi yang efektif. Selama proses penundukkan itu, nafsu mesti disibukkan dengan hal-hal positif agar semakin jinak dan tidak buas. Untuk menjernihkan rohani, Syekh Abu Hasan al-Azzaz rahimahullah pernah mengingatkan tiga hal, yakni tidak makan kecuali di waktu sangat lapar, tidak tidur kecuali sangat kantuk, dan tidak berbicara kecuali bila sangat perlu.

Ada cerita unik mengenai nafsu, suatu ketika seorang pemuda sowan kepada salah satu Syekh tentang hasratnya melihat perempuan. “Aku tak bisa mengendalikan syahwat untuk melihat gadis-gadis di jalanan. Hasrat itu setiap hari semakin menjadi-jadi. Apa yang mesti aku lakukan?”.  Syekh memandangi pemuda itu. la kemudian memberikan padanya sebuah gelas yang penuh berisi susu. Lalu ia berkata, “Tolong antarkan segelas susu ini ke toko fulan. Untuk sampai ke toko itu engkau mesti menembus sesak dan kepadatan di pasar. Tapi ingat, susu ini tak boleh tumpah sedikitpun.”

Untuk menjamin susu itu tidak tumpah, Syekh meminta salah seorang muridnya untuk mengawasi pemuda tadi. Syekh berpesan pada muridnya, kalau susu itu tumpah meskipun setetes, ia boleh memukul pemuda itu di depan orang banyak.

Pemuda itu berhasil mengantarkan susu tersebut ke toko yang dimaksud tanpa tumpah sedikitpun. Setelah kembali bertemu dengan Syekh, Syekh bertanya padanya, “Berapa orang gadis yang engkau lihat di jalan tadi?”. la menjawab, “Tak ada seorang pun. Aku takut susu ini tumpah. Aku bisa dipukul oleh muridmu di depan orang banyak. Tentu aku akan sangat malu.”

Syekh berkata, “Demikianlah semestinya seorang mukmin, takut pada Alloh kalau berbuat maksiat dan rasa malu di akhirat nanti di depan seluruh makhluk.”

Cerita ini dapat menginspirasi manusia, bahwa setiap kali timbul hawa hafsu dalam dirinya maka yang harus diprioritaskan adalah ketakwaan bukan godaan kenikmatan. Kedepankan rasa malu kepada Tuhan bukan hanya sesama insan. Nafsu bisa menggoda siapa dan kapan saja, tapi kita harus selalu bertakwa dimanapun berada.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *