Kalimantan menjadi salah satu pulau persebaran santri Assirojiyyah, baik santri aktif ataupun alumni. Secara geografis, Kalimantan merupakan pulau paling luas di Indonesia, namun populasi penduduk dan tingkat pendidikannya masih terbilang rendah. Oleh karenanya, tidak sedikit para tokoh pendidikan bermunculan, baik di tingkat kabupatan/kota, kecamatan maupun desa. Seperti Ust. Ilyasak, tokoh alumni yang hingga kini masih berperan aktif sebagai tokoh agama.
Keputusan yang Berat
Ustad Ilyasak, yang akrab dipanggil Ustad Yesak, lahir pada tahun 1959 di Siantan, Mempawah, Kalimantan Barat. Merupakan anak ketiga dari tujuh bersaudara dari pasangan H. Asmar dan Hamiyah. Sebelum belajar di pesantren, Yesak menempuh pendidikan dasar di Sekolah Rakyat (SR) dan pendidikan agama di Madrasah al-Anwar.
Titik balik dalam hidupnya terjadi pada tahun 1970, ketika ia melangkahkan kakinya untuk masuk ke PP. Assirojiyyah guna memperdalam ilmu agamanya, bertepatan dengan perayaan tahun baru pasca berlibur di Surabaya. Saat itu, H. Asmar menitipkan Yesak pada temannya yang hendak balik pondok selepas liburan pesantren.
Sulitnya perekonomian keluarga membuat ayahnya harus mengahadapi keputusan yang berat, antara berani atau takut untuk memondokkan anaknya. Namun berkat bimbingan dan dorongan Kiai Subki, guru H. Asmar, akhirnya ayah Yesak berhasil diyakinkan untuk mengirimkan putranya belajar di sebuah pesantren di Madura.
Hidup di Pesantren
Setelah memasuki pesantren, Yesak menemukan dirinya di lingkungan yang sederhana. Pesantren masih dalam tahap awal, tanpa listrik dan hanya terdiri dari beberapa ruangan. Jumlah santri saat itu masih sekitar 300 orang, dan hanya beberapa orang yang berasal dari Pontianak. Keputusan orang tuanya untuk memondokkannya secara mendalam dipengaruhi oleh saran Kiai Subki.
Meski fasilitas hidup memprihatinkan dan tak jarang telat kiriman dari orang tua, hal ini tetap membuatnya tangguh, merasa puas, dan mampu menghadapi semua tantangan hingga menemukan kebahagiaan di pesantren.
Tantangan dan Dukungan
Di tengah ombang-ambingnya kehidupan pesantren, tak lama adiknya, Darwis menyusul masuk pesantren. Hal ini membuatnya harus berkeliling mencari pinjaman uang dari tetangga dan toko sekitar untuk membeli beras. Tetangga yang paling diingatnya ialah Buk Yamin, sebagai harapan terakhir baginya yang sudi membantu bahkan di saat dirinya sendiri sedang dalam kesulitan.
Menempati area sederhana di pesantren, Yesak menghadapi berbagai tantangan. Namun, dia tidak pernah membiarkan kesulitan tersebut mengalahkan rasa syukur dan kebahagiannya. Ia bahkan berusaha keras untuk menyembunyikan masalah keuangan dari adiknya yang lebih muda, Darwis, agar tidak membuatnya khawatir dan terbebani.
Baca Juga:
Transisi dan Pulang ke Kampung Halaman
Setelah beberapa bulan uang kiriman lambat, ayah Yesak tiba-tiba datang mengunjungi pesantren. Awalnya skeptis, Yesak salah mengira bahwa ayahnya adalah tukang pos karena biasanya uang dikirim ayahnya melalui pos. Namun, kunjungan ayahnya menjadi momen bersejarah. Kunjungan ayahnya membuat Yesak terkejut, bukan hanya sekedar kunjungan biasa, ayahnya sowan pada Muallim untuk meminta restu dan ijin boyong bagi anaknya dari pesantren.
Kejadian ini benar-benar hal yang tak terduga. Saat hasratnya mencari ilmu menggebu-gebu, tiba-tiba sang ayah datang menjemputnya. Keputusan ini membuatnya bingung dan sedih, karena ia telah terikat dengan kehidupan pesantren. Yesak masih menetap beberapa waktu setelah itu, karena ayahnya baru akan membawanya pulang setelah pembangunan masjid di rumahnya rampung. Yesak sangat terpukul dan jarang masuk sekolah, mondar-mandir ke dalem kiai berharap kiai menahannya. Tapi apalah daya takdir berkata lain, itulah jalan yang harus ia tempuh.
Langkah Setelah Boyong Pesantren
Setelah memutuskan diri untuk boyong dari pesantren, orangtuanya mendorongnya untuk terlibat dalam pendidikan dengan membangun madrasah. Meskipun kondisi ekonominya pas-pasan, dengan pekerjaan sebagai pengolah karet, Yesak menerima tugas tersebut dengan rasa syukur dan senantiasa memegang teguh nilai-nilai dan ajaran yang diterimanya selama ngaji pada Muallim.
Pada awalnya, madrasah dimulai dengan jumlah santri yang terbatas, namun dengan dukungan dan bantuan dari masyarakat serta pengajar yang rela berkontribusi tanpa bayaran, dengan rida dan doa Almuallim Madrasah Tarbiyatus Sibyan tumbuh dan berkembang. Meskipun harus berbagi waktu dengan pekerjaannya sebagai pengolah karet, Yesak dengan tekun mengurus madrasah, hingga saat ini jumlah santri pun semakin bertambah mencapai sekitar 150 orang.
Tetesan Air Mata Nasehat
Saat nyantri, Yesak pernah melakukan suatu pelanggaran yang membuatnya dipanggil oleh Muallim. Bukan memberinya hukuman melainkan nasihatlah yang ia dapat. Muallim mengingatkan Yesak terhadap perjuangan orang tuanya agar bisa belajar di pesantren. Muallim mengatakan bahwa rasa sayang beliau terhadap santri tak beda dengan anak kandung beliau sendiri, semua sama. Tak terasa air matanya jatuh, seakan semua perjuangan orang tuanya nampak di matanya. Muallim juga berpesan bahwa setiap tindakan pasti memiliki konsekuensi, bagi yang taat pasti menuai kebaikan dan yang melanggar batas juga pasti menuai balasan.
Tak lama setelah madrasahnya selesai dibangun, Almuallim memutuskan untuk pergi ke Pontianak dengan maksud silaturahim dan memperkenalkan diri kepada wali murid. Menurut beliau, hubungan antara santri, wali santri, dan guru seperti arus listrik. Jika salah satunya putus, maka hubungan itu akan terganggu. Oleh karena itu, penting bagi seorang guru untuk mengenal wali murid begitu pula wali murid harus tahu pada siapa, dimana dan bagaimana anaknya belajar.
Kisah Yesak adalah cerminan perjalanan panjang setelah meninggalkan pesantren, di mana semangat pendidikan, pengabdian, dan kecintaan pada nilai-nilai agama dan nasihat guru tetap menjadi pendorong utama dalam hidupnya. Yesak membuktikan bahwa meskipun berada di luar lingkungan pesantren, ruh dan semangat keislaman dapat terus dihidupkan dan disebarkan di tengah-tengah masyarakat.
Oleh : Bukhori Muslim